Seberapa sering kita dengar ada pejabat Kwartir atau Pembina Satuan yang "pasang badan" saat anggotanya berprestasi? Sering banget. Tapi, menurut survei internal sebuah lembaga riset independen tahun 2023, hampir 70% anggota Pramuka merasa pemimpin mereka cenderung menghindari tanggung jawab saat ada masalah, dan justru menyalahkan bawahan. "Waktu menang lomba, Pak Pembina langsung paling depan difoto," curhat seorang anggota Penegak. "Tapi pas tenda roboh, dia pura-pura sibuk telepon penting. Padahal cuma main game."
Ini bukan lagi soal Dasa Darma yang mulia. Ini soal mentalitas "pemimpin" yang cuma mau enaknya aja. Ingat kata Dwight D. Eisenhower, mantan Presiden AS dan Jenderal Perang Dunia II? "Leadership consists of nothing but taking responsibility for everything that goes wrong and giving your subordinates credit for everything that goes well." Nah, kalau di Pramuka, kok kayaknya dibalik? "Good news is my news, bad news is your news."
Masyarakat kini melihat. Apakah kursi kepemimpinan di Pramuka itu semacam "kursi panas" yang cuma nyaman diduduki saat ada tepuk tangan, tapi langsung dingin saat ada masalah? Ada yang nyeletuk, "Mereka itu kayak wasit bola. Pas timnya menang, langsung ikutan selebrasi. Pas timnya kalah, langsung kabur ke ruang ganti." Pedas, tapi kok relate? Anak Pramuka diajarin tangguh dan bertanggung jawab, tapi pemimpinnya malah ngajarin "seni" cuci tangan.
Coba bayangkan, jika Pramuka itu sebuah kapal. Kaptennya hanya muncul saat kapal bersandar dengan selamat di pelabuhan, disambut meriah. Tapi saat badai datang dan kapal oleng, Kaptennya malah bilang, "Nahkoda kedua salah ambil haluan!" Apa itu namanya pemimpin? Atau cuma numpang tenar? Apa mereka cuma bisa mengatur parade, tapi takut mengatur kekacauan?
Jadi, sekarang kita tanya balik: sudah siapkah para pemimpin Pramuka jadi nahkoda sejati, yang berdiri paling depan saat badai, atau mereka cuma mau jadi tukang foto di podium?
Post a Comment